Saturday, September 21, 2024

Puisi: Siber Echo Chamber

Siber Echo Chamber

Dalam ruang maya yang tak terbatas,
Pesan-pesan mengalir tanpa jeda,
Namun di sini, gema tak pernah lenyap,
Semua kembali, seolah tanpa suara baru.

Suara yang kukenal, terus bersahutan,
Menguatkan keyakinan yang sudah tertanam,
Di layar ini, dunia terasa dekat,
Namun pandangan tetap sempit dan padat.

Dalam guliran tak berujung, kita terperangkap,
Mengintip hidup yang serupa, tanpa celah lepas,
Cermin-cermin digital menyajikan bayangan,
Seakan dunia luar hanya pantulan diri yang sama.

Namun di balik layar, angin lain berembus,
Pesan dari dunia yang tak kuasa kujelajahi,
Jika kuberani menjelajah, menembus dinding-dinding,
Mungkin suara lain akan mengisi ruang sunyi ini.

Ruang gema bisa runtuh,
Jika saja kita mau mendengar yang berbeda,
Di dunia maya ini, banyak yang tersembunyi,
Namun kebenaran masih bisa ditemui.

 Puisi: Ruang Gema di Dunia Maya

Pemaknaan puisi:

Puisi "Ruang Gema di Dunia Maya" memaknai bagaimana media sosial sering kali menciptakan ruang gema (echo chamber), di mana seseorang hanya mendengar, melihat, dan berinteraksi dengan pandangan atau opini yang serupa dengan keyakinan mereka sendiri. Dalam konteks ini, media sosial memperkuat bias, mengulangi informasi yang sama, dan menutup pintu terhadap perspektif baru atau berbeda.

Pemaknaan lebih lanjut dari puisi ini adalah:

  1. Kesempitan Perspektif: Media sosial memberi ilusi bahwa kita terhubung dengan dunia luas, tetapi sering kali kita hanya berhadapan dengan sudut pandang yang terbatas. Informasi yang terus-menerus kembali seperti gema menciptakan lingkaran tertutup yang memperkuat keyakinan kita tanpa tantangan dari luar.

  2. Ketergantungan pada Validasi: Dalam dunia maya, kita sering kali terperangkap dalam lingkaran pencarian validasi, di mana kita hanya mendengar suara-suara yang mengafirmasi pandangan kita, tanpa membuka diri pada keberagaman pendapat.

  3. Potensi untuk Pembebasan: Meskipun ruang gema bisa mengisolasi kita, puisi ini juga menyiratkan harapan bahwa jika kita berani mendengar suara yang berbeda, kita bisa menemukan kebenaran yang lebih luas. Ada angin kebebasan di luar lingkaran gema yang memberi kita perspektif baru.

Secara implisit, puisi ini mengkritik bagaimana media sosial bisa membatasi kita secara mental dan emosional, meskipun pada awalnya tampak seperti ruang yang bebas dan tanpa batas.

0 comments:

Post a Comment

Search This Blog

Powered by Blogger.

About Me

My photo
Dr. Feri Sulianta, S.T., M.T., MOS, MTA, CPC, CNNLP, CHA mengawali karir sebagai Chief Information Officer, saat ini ia mengajar di beberapa perguruan tinggi dan menggeluti peran sebagai life coach. Kegemarannya menulis membuatnya didapuk MURI(2016) sebagai penulis buku Teknologi Informasi terbanyak. LEPRID (2018) memberikan apresiasi sebagai Penulis dengan Kategori Buku Terbanyak, 19 kategori untuk 88 buku. Hingga kini Feri Sulianta sudah memublikasikan lebih dari 100 judul buku.