Friday, September 20, 2024

Puisi: Jejak Sunyi di Era Otomatisasi

Jejak Sunyi di Era Otomatisasi

Di sudut-sudut pabrik sunyi,
denting logam menggantikan bisik pekerja,
sebuah tarian tanpa lelah,
bergerak seiring perintah tanpa suara.

Jari-jari besi tak pernah lelah,
menganyam waktu, membungkus harapan,
menyulam setiap detik dengan ketepatan,
di mana dahulu tangan manusia berderap.

Langkah yang dulu berisik, kini sunyi,
jalan-jalan tak lagi penuh sesak,
dalam keheningan, mesin menyusun tatanan baru,
menggeser mimpi di bawah bayang otomatisasi.

Tak ada lelah, tak ada ragu,
hanya kemajuan yang terus melaju.
Tapi di balik gemerlap cahaya kemudahan,
terselip tanya dalam hati yang tak terucapkan,
di manakah tempat bagi yang dulu bekerja di sini?

Jejak Sunyi di Era Otomatisasi

 

Thursday, September 19, 2024

Puisi: Tautan yang Tak Terlihat

Tautan yang Tak Terlihat

Ada jalan-jalan tak kasat mata,
Yang menyatukan ruang dan waktu,
Mengalirkan pesan dari satu jiwa ke yang lain,
Tanpa batas, tanpa sekat,
Menghubungkan mereka yang jauh,
Menjadikan yang tak mungkin, nyata.

Di dalam lorong sunyi, mereka saling berbagi,
Bukan sekadar benda, tapi juga cerita,
Suara yang memanggil dari kejauhan,
Menembus jarak dengan kilatan cahaya,
Mengisi kekosongan dengan tawa, dengan sapa.

Di balik layar, ada dunia tersembunyi,
Menyatukan potongan-potongan ingatan,
Menjelajah angkasa tanpa beranjak,
Menemukan jawaban di balik setiap klik,
Sebuah simfoni yang terus berdetak,
Menghidupkan ritme dari kedalaman.

Semua terhubung,
Dalam simpul-simpul yang tak terurai,
Bersama mereka menari,
Membuka pintu menuju kemungkinan baru,
Di dunia yang tak lagi mengenal batas.

ilustrasi puisi oleh feri sulianta

 

Puisi: Di Ujung Skala Molekuler

Di Ujung Skala Molekuler

Dalam sunyi yang padat, transistor menari,
Semakin kecil, namun tak lagi sederhana.
Kompleksitas tumbuh, tak terhindarkan,
Di batas molekuler, tantangan tersimpan.

Seperti janji di masa lalu,
Teknologi berlari, mengejar waktu.
Namun kini langkahnya terhenti sejenak,
Tak sesederhana dulu, lebih banyak yang terpecah.

Kecerdasan buatan dan data besar melambung tinggi,
Menuntut lebih dari yang pernah dijanjikan.
Di simpul kecil itu, kita bertahan,
Mencari jalan baru di balik batas yang dirasakan.

Walau perlahan, inovasi tak pernah pudar,
Ia takkan mati, hanya berubah wujud.
Dengan setiap lompatan, masa depan terbuka,
Teknologi tetap tumbuh, tak pernah menyerah.

Di dunia yang kian padat dan tak terduga,
Kita terus mencipta, meski di bawah beban yang berat.
Langkah berikutnya masih tak pasti,
Namun masa depan tetap menunggu, kita tak berhenti.

Ilustrasi puisi feri sulianta

 

Wednesday, September 18, 2024

Puisi: Dalam Empat Sang Jiwa

Dalam Empat Sang Jiwa

Di sudut terang, sang penghibur menari,
Mengejar angin, menantang arus tak bertepi,
Langkahnya penuh gairah, tak kenal lelah,
Namun sering lupa jalan pulang ke rumah.

Sang pejuang teriak di tengah gemuruh,
Mengalir seperti api, cepat meluruh,
Ia kuasa, membakar segala yang diam,
Namun kadang lupa, dunia tak hanya tentang menang.

Sang pemikir diam di pojok malam,
Menelusuri jejak-jejak sunyi dalam,
Ia peluk kata, ia rangkai makna,
Namun hatinya tenggelam di lautan rasa.

Sang penurut berlayar di lautan tenang,
Menghindari badai, menyusur arus senang,
Damai ia bawa, ketenangan ia beri,
Namun terlalu diam, mungkin tak pernah berdiri.

Empat wajah dalam satu jiwa,
Berpadu dalam nada yang berbeda,
Siapa yang sempurna di tengah gelora,
Hanya waktu yang tahu jawabnya.

Di antara bising dan diam,
Kita semua mencari keseimbangan dalam.

ilustrasi puisi feri sulianta

 

Tuesday, September 17, 2024

Puisi: Simfoni Masa Depan di Ujung Kecerdasan

Simfoni Masa Depan di Ujung Kecerdasan

Di dalam sepi yang teratur,
algoritma menyusun notasi dunia,
dari serpihan data yang tersebar,
lahirlah simfoni baru tanpa suara.

Ia bukan hanya alat di tangan manusia,
Entitas cerdas, wujud pikiran yang merangkai makna,
menggambar, menulis, menyanyi tanpa nada,
di antara debu digital, ia temukan jiwanya.

Bukan sekadar memudahkan beban,
tapi merubah hakikat usaha dan harapan,
dalam lanskap kerja yang terus berubah,
dimana mesin dan manusia bersama bernafas.

Apakah ini ancaman, atau harapan?
Di ruang yang dulu dipenuhi keringat dan tangan,
kini pikiran terhubung tanpa sekat,
mengukir dunia yang baru, yang tak lagi lambat.

Namun, ada pertanyaan yang tersisa di sudut,
tentang arti manusia saat peran berubah,
akankah kita tetap bertahan,
atau terhanyut dalam gelombang teknologi yang kian mendalam?

Di tengah revolusi tanpa bendera,
Entitas cerdas berdiri sebagai panglima,
membawa kita ke masa depan yang samar,
dimana batas antara manusia dan mesin mulai pudar.

Di antara kebisingan itu, kita mencari arti,
tentang kerja, tentang eksistensi,
di persimpangan takdir yang tak terduga,
dimana masa depan ditulis oleh data dan cinta.

 

ilustrasi puisi teknologi - feri sulianta

Puisi: Dialog Pikiran dan Tubuh

Dialog Pikiran dan Tubuh

Dalam senyap jiwa, tubuh bertanya,
Apakah kita dua, atau hanya satu rasa?
Apakah getar pikiran terpisah dari daging,
Ataukah kita menari dalam harmoni yang saling berpasang?

Jika aku luka, bisakah kau merasa?
Jika kau sedih, mengapa tubuhku terikat sengsara?
Kita bertukar, berbicara tanpa suara,
Dalam aliran waktu yang tak berhingga.

Adakah tali tak kasat mata,
Yang menghubung kita tanpa jeda?
Atau kita satu jalinan tak terpisah,
Pikiran adalah tubuh, tubuh adalah semesta?

Mungkinkah dalam tarian ini ada sebab?
Empirismu bertanya, filsafatmu menyelam.
Tapi dalam kedalaman itu, kita hanya satu,
Entitas tunggal dalam pusaran waktu.

Pada awal perjalanan, kau mungkin tak terbangun,
Tapi kini, kau tahu—kita telah menyatu,
Dan dalam tiap denyut, ada nyawa tak terlihat,
Yang menjawab semua pertanyaanmu yang terikat.

 

ilustrasi puisi feri sulianta

Puisi: Goresan Manusia

 Goresan Manusia

Ada goresan manusia di atas kertas,
Bukan sekadar jemari yang menari,
Tapi lintasan pikiran yang tak berwujud,
Tertoreh oleh perjalanan dalam kepala.

Setiap lengkung huruf,
Adalah jendela yang terbuka samar,
Pada yang tak terucap oleh bibir,
Rahasia tersembunyi, terjaga di sudut jiwa.

Dalam titik, dalam garis,
Terjalin cerita yang kadang terlipat,
Ada keberanian yang diam-diam berbisik,
Atau luka yang perlahan merembes ke tepi.

Tiap kata menyimpan getar tak kasat mata,
Mengalir dari tempat dalam, yang kita hindari.
Mungkinkah tersirat potensi yang menunggu,
Atau getir yang perlahan merangkak ke alam berfisik?

Dalam setiap jejak yang tertinggal,
Ada cermin yang tak semua mampu lihat,
Membaca yang tertulis di luar,
Membaca yang terukir di dalam.

ilustrasi puisi feri sulianta

 

Monday, September 16, 2024

Puisi: Tak kuasa Memilih Racun diantara Manusia

 Tak kuasa Memilih Racun diantara Manusia

Ada langkah yang tak lagi ringan,
di bawah langit yang selalu muram,
tak terhitung jejak yang pernah kukira benar,
namun terhapus bisikan yang tak pernah kupinta.

Di antara senyum yang samar,
ada tawa yang menusuk dalam diam.
Aku berusaha tetap berdiri,
namun bayangmu kerap menarikku pergi.

Seperti angin yang membawa debu,
kau datang dengan lembut, namun memudar segalanya.
Setiap kata, setiap sapa,
meredupkan cahayaku yang dulu terang.

Pernah ku kira ini tentang cinta,
tentang sahabat yang selalu ada,
namun entah sejak kapan,
tanganmu menjadi belenggu tanpa rantai.

Mimpi-mimpi kini tak lagi mengudara,
tergantung di tepi keraguan.
Keputusan yang pernah kupilih dengan bangga,
menjadi pertanyaan tanpa jawaban.

Dan kepercayaan diri yang pernah kukenakan seperti jubah,
berubah menjadi kain yang terurai perlahan.
Mungkin kau, seperti aku,
terluka dalam cerita yang tak terucap.

Namun di sini, di titik ini,
aku sadar: jalan kita tak lagi searah.
Kita tak bisa mengulang waktu,
tapi aku bisa memilih untuk melepaskan racun yang kau bawa.

Hidup ini milikku kembali,
tanpa jejakmu di setiap langkah.

ilustrasi puisi - feri sulianta

 

Puisi: Menjelajah Dunia di Jalan Tanpa Batas

Menjelajah Dunia di Jalan Tanpa Batas

Dalam sunyi yang tak tersentuh waktu,
Ada jalan-jalan tersembunyi yang senyap menjangkau,
Di mana setiap langkah adalah mungkin,
Meski kabut ketidakpastian membalut segala arah.

Langkah pertama adalah keyakinan,
Bahwa angin dapat membawa kita lebih jauh,
Bahkan ketika ombak dunia mengguncang,
Kita berdiri teguh di pelabuhan mimpi.

Di balik tatapan asing, ada keraguan,
Namun itu bukan milik kita,
Hanya bayangan mereka yang terpantul,
Kita berjalan, tak gentar oleh ketakutan yang bukan milik kita.

Dunia terhias pesan yang tersebar,
Dalam setiap sudut yang kita lintasi,
Kita kelilingi diri dengan bisikan semangat,
Membangun benteng dari hasrat yang tak pernah padam.

Dan ketika rencana berbelok dari jalur yang digariskan,
Kita lepaskan keinginan untuk selalu tepat,
Sebab jalan menuju tujuan selalu berbeda,
Setiap liku adalah peluang, setiap kelokan adalah kemungkinan baru.

Keluesan adalah kunci,
Dan keterikatan bukanlah jaring yang menahan kita,
Melainkan pintu yang dapat dibuka kapan saja,
Menuju kemungkinan tak terbatas yang selalu menanti.

Ilustrasi Puisi Feri Sulianta

 

Puisi: Menitih Masa Depan dalam Lelap

Dalam hening malam, kala kelopak mulai menutup,
Tersimpan mimpi-mimpi tak terucap,
Lirih tak terdengar, namun kuat menancap,
Di ruang yang tak terjamah, ia mengukir langkah.

Tatkala dunia tak menoleh,
Pikiran menenun masa depan perlahan,
Menyulam harapan yang dibisikkan dalam diam,
Tak ada desakan, hanya kepercayaan dalam bayang.

Setiap hembusan nafas,
Adalah janji yang tertanam dalam senyap,
Bukan sekadar khayalan yang berlari bebas,
Namun program yang ditulis dalam lembar tak kasat.

Percayalah, pada setiap lintasan dalam tidur,
Ada benih yang tumbuh tanpa engkau sadari,
Menyirami jalan yang akan kau tapaki,
Mengubah ruang waktu menjadi nyata tanpa suara.

Di balik tirai mata tertutup,
Gelombang lembut membawa mimpi lebih dekat,
Menganyam masa depan dalam cermin yang jernih,
Di sana, semua keinginan siap kau genggam.

ilustrasi puisi feri sulianta


 

Puisi: Sosok Luka di Cermin

 Sosok Luka di Cermin

Di balik senyum yang samar tersirat,
Ada luka-luka yang tumbuh diam-diam,
Mengisi ruang hati tanpa jeda,
Menjadi bayang-bayang yang tak pernah pergi.

Mereka, yang ditempa oleh derita,
Berjalan di lorong-lorong sepi,
Menanggung beban, yang kian hari kian berat,
Hingga terlupa, luka itu pun menjelma.

Ada yang hidup dalam cahaya,
Dipeluk hangat bahagia,
Langkahnya ringan, ucapannya bijak,
Namun, tak semua diberi nasib seindah itu.

Di sudut lain, mereka yang tersudut,
Dihimpit realitas pahit,
Luka itu tak hanya terasa,
Tapi mewujud, menjadi sosok yang mereka tak kenal.

Monster, yang lahir dari pedih jiwa,
Menghancurkan, tak hanya dunia di luar,
Tapi juga tuannya,
Hingga tersisa puing-puing mimpi yang lenyap.

Luka itu tak tampak di mata,
Namun berdiam di jiwa,
Mengubah sosok lembut menjadi keras,
Sampai akhirnya, tak lagi kenali dirinya.

"Bayang Luka di Cermin",
Di sanalah monster itu tinggal,
Menunggu saatnya muncul,
Menjadi bayang yang tak lagi bisa disangkal.

 

Ilustrasi Puisi - Feri Sulianta

 

 

Search This Blog

Powered by Blogger.

About Me

My photo
Dr. Feri Sulianta, S.T., M.T., MOS, MTA, CPC, CNNLP, CHA mengawali karir sebagai Chief Information Officer, saat ini ia mengajar di beberapa perguruan tinggi dan menggeluti peran sebagai life coach. Kegemarannya menulis membuatnya didapuk MURI(2016) sebagai penulis buku Teknologi Informasi terbanyak. LEPRID (2018) memberikan apresiasi sebagai Penulis dengan Kategori Buku Terbanyak, 19 kategori untuk 88 buku. Hingga kini Feri Sulianta sudah memublikasikan lebih dari 100 judul buku.